Dear
kakak ku sayang,
Bisakah kau hitung kebersamaan kita
sampai hari ini? Kakakku sayang, sudah hampir 3 tahun kita selalu bersama, mengenal
satu sama lain, berusaha menyatukan benang persahabatan yang entah dari mana
asalnya. Kau menyatakan diri sebagai saudaraku, yang pada awalnya tak dapat ku
terima. Karena bagiku-saudara itu adalah orang yang notabene sedarah denganku.
Tapi, persaudaraan, persahabatan dan
perhatian yang kau berikan membuatku sungguh memandangmu sebagai kakakku. Kau kakakku-setara dengan kakak kandungku, meski
secara hukum tak dapat disamakan begitu.
Kakakku sayang, bagiku kau adalah
orang yang sempurna. Wanita kuat, tegar atau bila kau tak berkeberatan, bisa ku katakan perkasa.
Kau cukup kuat menghadapi masalah keluargamu yang bagiku teramat rumit, Belum
lagi masalah tugas akhirmu yang belum menemukan ujung penyelesaian, ditambah
lagi kami, adik-adikmu yang teramat manja dan tidak mengerti posisi dan
keadaanmu.
Bagiku, kau cukup menjadi teladan
untuk semua tindak-tandukmu. Bukan hanya tentang cara bicara, berpakaian atau emosimu
dan bahkan pergaulanmu bagiku semuanya luarbiasa sempurna. Kau tepat sebagai
pemimpin, tepat sebagai mahasiswa, dan tepat sebagai kakak.
Kakak ku yang memang manis, ada
pertanyaan yang mungkin akan menggelitikmu. Mengapa kau sekuat itu? Pantaskah aku menanyakan ini, karena aku
sendiri tahu jawabannya.
Sering kali kekuatanmu, menjadi momok
yang menghantuiku. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya
menjadikanku atheis.
Kakakku, banyak hal yang tidak kau
ketahui tentang ku yang sesungguhnya sering membuatku terluka dan merasa
bersalah terhadapmu. Aku tak sebaik yang kau pikirkan, aku tak seturut apa yang
engkau bayangkan. Seringkali apa yang kau katakan bertolak belakang dengan akal
pikirku. aku bukan seperti Dina yang bisa dengan gamblang mengungkapkan isi
pikirannya atau seperti Santi yang bisa menolak dengan ringan jika sesuatu tak
berkenan dengan jalan pikirnya. Aku butuh menimbang apakah itu pantas untuk
diucapkan atau tidak, atau pantas dilakukan atau tidak. Terlebih semua itu
bersangkutan denganmu. Aku tak ingin melukai perasaanmu apalagi sejak kau
merangkulku saat aku menangis. AKu sungguh berjanji tak ingin melukai
perasaanmu.
Karena itu, sering kali aku iri dengan
Dina dan Santi yang bisa berorasi seturut dengan akal pikir mereka yang
terkadang ku benarkan dalam hatiku, namun ku ungkapkan berbeda dengan ucapanku
yang benar. Tapi pergolakan dalam hatiku cukup kuat bermain hingga sering
membuatku menangis sendiri.
Kakakku, maaf melanggar janji ku untuk
tidak membuatmu terluka. Keputusanku menjadI PKK membuatku tak tenang sampai
sekarang. Sering kali aku mempertanyaakan mengapa hal itu ku lakukan sementara
tidak ada ketulusan dalam hatiku. Aku bukan orang yang mudah untuk berbagi
dengan orang yang baru saja ku kenal, atau orang yang mau membujuk seseorang.
Aku lebih senang membiarkan seseorang berjalan dengan akal pikirnya dan
menjalani hidupku sendiri. Aku mencintai kesunyian. Aku mencintai kesendirian,
dan menjadi PKK sungguh mengusik ketenanganku. Jika boleh, aku tidak ingin
melakukan ini. Sungguh.
Maaf mengusikmu dengan ini. Sering aku
bertanya, pernahkah kau jatuh cinta-lagi setelah menjadi PKK? Pernahkah kau
merasakan debaran dan letupan kecil di hatimu bila seorang pria menyatakan
perasaannya padamu? Mengapa kau cukup tenang dan bersikap pasrah tentang
seseorang yang tak perlu ku sebutkan yang dengan tangan terbuka bisa kau
maafkan dan bersikap biasa saja. Mengapa bisa? Atau selama ini kau meredamnya
dan mengabaikannya demi rasa tanggung jawabmu sebagai PKK? Kakakku, bukan
bermaksud untuk menjengkalimu, hanya kau wanita, tidakkah terluka?
Tidakkah letupan-letupan di hatimu itu
yang membuat hidupmu lebih bermakna? Krena bagiku debaran itu merupakan
anugerah dan aku menikmati tiap letupan yang singgah dalam hatiku. Kadang aku
bertanya mengapa kau cukup datar merasakannya atau akukah yang terlalu
berlebihan memaknainya.
Kakakku, aku sekarang sedang merasakan
letupan itu. Kau sudah berulang kali menasehatinya kepadaku. Dan aku menahan
rasa cukup lama untuk itu. Dan tak dapat ku pungkiri masih ada rasa rindu
hingga kini yang membuat ku terkadang merasa menyesal tidak menerima pernyataan
cintanya dulu. Hingga saat ini ada rasa kecewa dalam benakku, kakak, mengapa
alurnya harus seperti ini. Aku membenci bagian ini. Terlalu melukaiku.
Lalu kakakku sayang, apakah seorang PKK
diwajibkan harus bertindak spertimu? Karena aku yakin aku tak bisa menjadi
pemimpin sesempurnamu. Dan aku tak punya keinginan sama sekali sepertimu.
Kakakku sayang, maaf semua ini mungkin
cukup mengagetkanmu. Pernah aku berpikir untuk pergi-menjauh dan menyendiri.
Tapi ini akan berakibat fatal untuk santi dan Dina. Bukan aku menganggap aku adalah
tonggak di kelompok kecil kita. Hanya saja hal ini kemungkinan besar akan
terjadi.
Jujur, aku semakin berubah sejak
mengenalmu, sejak ikut melayani, namun tak urung pula aku bertanya, benarkah
aku berubah? Karena aku masih mencintai
kesendirian dan kesunyianku. Karena aku masih mencintai Kealpaanku hadir di
tengah-tengah orang banyak. Dan aku mendapati diriku kehilangan jati diriku
yang sesungguhnya, aku lupa membedakan mana aku yang berpura-pura dan mana aku
yang sesungguhnya.
Kakakku, bukan aku bermaksud untuk
meniadakan kebersamaan kita selama ini. Bukan aku menyesali pertemuan yang
terjalin antara kita. Hanya aku tak tahu, apakah jalan yang ku jalani ini benar
adanya yang ku inginkan. Karena rasanya topeng ku semakin sulit untuk ku
lepaskan. Aku lelah memakainya, namun enggan melepaskannya.
Kakakku sayang, terlalu banyak aturan
yang membuatku terantuk dan menjadi batu sandungan untuk kehidupanku sendiri.
Kini aku bimbang. TAK DAPAT MENIKMATI SEMUA YANG KU LAKUKAN. Bukan aku tak
berusaha. Aku berkorban besar untuk semua perubahan ini. Aku membunuh banyak
hal yang ingin kulakukan dan berjuang menemukan kebenaran. Namun, semakin aku
berjalan, semakin aku buta. Semakin aku lupa. Kakakku, maaf, semua ini akan
mengingkari janji ku untuk tidak melukaimu. Semua ini akan membuatmu tersakiti.
Maaf aku bukan orang yang engkau maksud dalam bayanganmu.
Aku justru lebih buruk dari Dina dan
Santi. Kealpaanku memberi kabar hanya
ingin mengetahui apa yang sesungguhnya ku pikirkan. Dan hingga kini aku tak
menemukannya.
Bahkan, natal ini tak dapat ku maknai
dengan indah. Entah mengapa ada rasa kurang dan menjadikannya menjadi hal yang
biasa saja.
Kakakku, Kau cukup kaget? Aku juga. AKu
kaget bisa mengungkapkan pikiranku sebanyak ini. Setelah membaca ini, pernahkah
kau terpikir mengapa pernah bertemu orang aneh sepertiku? Mungkin hal yang
wajar karena aku pun takut pada diriku yang tak ku kenali ini. Kakakku sayang, Banyak
hal yang sulit untuk ku katakan. Maafkan aku. Aku menyayangimu. (Yang ini dapat
kau percaya).
0 comments:
Posting Komentar